"Aku
kunang-kunang dan dia senja. Aku terang, dia gelap. Aku hangat, dia
dingin. Aku terlena, dia memesona. Aku diam, dia bisu. Aku tanda tanya, dia jawabnya."
Ini suratku yang ke-18. Dengan tololnya aku menyelipkan surat ini ke
dalam buku yang begitu ia cintai, buku sejarah. Mengendap-endap aku
berjalan menuju mejanya, tersenyum kecil walau hatiku menyimpan tangis.
Aku gemetar dan mimisan. Berlari menuju kamar mandi sambil menahan
sakitnya.
Dia. Sebut saja senja. Gelap, dingin, dan memesona. Aku mencintainya lebih dari cinta Romeo yang menjadikannya tersakiti lalu mati. Ini gila, di luar logika, tapi aku suka.
Sudah lama aku menyimpannya, tapi dengan kenyataan yang sama, aku tidak pernah berani untuk menunjukannya. Aku memilih diam dan menatapnya dari sini, jarak dan tempat yang tak akan pernah dia ketahui. Apa perasaan cinta harus ditunjukkan? Apakah perasaan yang aku simpan telah lama ini harus meluap dan menggenang? Menghujani hadirnya yang selalu membawa "kemarau" dalam hatiku? Atau hanya untuk sekadar membanjiri perasaannya yang selalu "kering"?
Dia. Sebut saja senja. Gelap, dingin, dan memesona. Aku mencintainya lebih dari cinta Romeo yang menjadikannya tersakiti lalu mati. Ini gila, di luar logika, tapi aku suka.
Sudah lama aku menyimpannya, tapi dengan kenyataan yang sama, aku tidak pernah berani untuk menunjukannya. Aku memilih diam dan menatapnya dari sini, jarak dan tempat yang tak akan pernah dia ketahui. Apa perasaan cinta harus ditunjukkan? Apakah perasaan yang aku simpan telah lama ini harus meluap dan menggenang? Menghujani hadirnya yang selalu membawa "kemarau" dalam hatiku? Atau hanya untuk sekadar membanjiri perasaannya yang selalu "kering"?
Aku kunang-kunang dan dia senja. Aku terang, dia gelap. Aku hangat, dia
dingin. Aku terlena, dia memesona. Aku diam, dia bisu. Aku tanda tanya,
dia jawabnya.
Rambutku semakin rontok, aku tak mampu lagi menelan makanan bahkan
berbicara sekalipun. Jari-jariku melemah, kakiku tak mampu lagi
berjalan. Ini suratku yang ke-19. Aku sampaikan pada kakakku untuk
segera menyampaikan pada "senja" secara langsung. Sampaikan pada senja
bahwa ada kunang-kunang yang ingin menerangi gelapnya. Sampaikan pada
senja bahwa ada kunang-kunang yang terlena akan pesonanya. Sampaikan
pada senja bahwa ada kunang-kunang yang hingga terangnya meredup tapi
dia masih ingin menjadi sesuatu yang akan senja suka, senja tahu, dan
senja cinta.
Ini suratku yang pertama untuk Tuhan. Terima kasih karena DIA telah
mencintaiku selama ini. Terima kasih atas umur yang DIA berikan padaku.
DIA mencintaiku sejak aku tercipta, bahkan sampai aku kembali lagi ke
pangkuanNYA. Kini, aku bisa merasakan peluk hangatNYA dan melihat senyum
manisNYA.
Dan, senja. Bagaimana dengan dia? Aku bisa terus memerhatikannya dari
sini. Bahkan, saat dia membaca suratku yang ke-19, dia menjatuhkan
bulir-bulir air matanya, itu kali pertama aku melihatnya menangis. Hey,
Senja. Bisakah kautidak menangisiku? Walau aku dan kamu tak bisa saling
bersentuhan, tapi aku masih bisa mencintaimu dari sini, jarak dan tempat
yang mungkin tak kauketahui.